Ketertinggalan teknologi yang dimiliki Indonesia saat ini justru memacu ITS untuk melakukan riset guna mendapatkan inovasi terbaru. Sebagai institusi pendidikan, ITS memiliki keterbatasan sehingga memerlukan kerjasama dengan pihak lain untuk mengetahui fakta di lapangan, terutama dengan badan usaha. Di antaranya kerja sama yang dilakukan dengan PT RSB dan PT KPAM untuk mengembangkan teknologi beton apung ini.
Di Indonesia, konstruksi beton apung belum banyak diaplikasikan untuk pemenuhan infrastruktur maritim. Hal ini mengingat berat jenis beton yang lebih besar dari air laut serta memiliki risiko retak yang tinggi, padahal beton lebih tahan korosi dibanding material baja. Di luar negeri, beton apung telah diaplikasikan di antaranya untuk pemecah gelombang terapung, marina perahu, ponton yang dirancang untuk akses ke air dan perahu, ponton khusus untuk klub berlayar dan mendayung, pompa bensin terapung di marina, sistem budidaya ikan (aquaculture), jembatan apung, struktur dukungan untuk bangunan terapung, dok kapal dan pendaratan feri.

Dalam penelitian yang akan dilakukan bersama ini nantinya, akan dikaji kelemahan dan keunggulan material beton untuk bisa diaplikasikan di bidang kemaritiman tersebut, terutama teknik untuk memproduksi beton apung yang berkualitas tinggi. Sebagai awalan, akan dilakukan untuk rancang bangun pemecah gelombang.
Untuk diketahui, breakwater atau pemecah gelombang ialah bangunan yang digunakan untuk melindungi daerah perairan pelabuhan dari gangguan gelombang air laut. Bangunan ini memisahkan daerah perairan dari laut lepas, sehingga perairan pelabuhan tidak banyak dipengaruhi oleh gelombang besar di laut. Di Indonesia, pemecah gelombang masih menggunakan bahan baku yang konvensional yang lebih mahal dalam segi ekonomi dan rumit pembangunannya.
Menurut Haryo Dwito Armono ST MEng PhD, peneliti dan dosen dari Departemen Teknik Kelautan ITS, dengan menggunakan beton apung, pemecah gelombang akan lebih ramah lingkungan dan dari segi ekonomi akan lebih murah. Hal ini dikarenakan pemecah gelombang dari beton apung tidak menutupi bagian laut di bawahnya. Sehingga tidak terjadi fluktuasi air, pergerakan organisme di laut tidak terganggu, dan tidak terjadi sedimentasi.
“Pemindahan pemecah gelombang dari beton apung ini pun hanya memerlukan kapal untuk menariknya, tidak memerlukan alat berat seperti pada pemecah gelombang konvensional pada umumnya,” jelas Haryo yang juga bertindak sebagai ketua panitia untuk penandatanganan MoA ini.